Cahaya Tawadhu dari Ngrukem: In Memoriam KH. ‘Ashim Nawawi

MUHAMMAD FAIZIN NOTONAGORO JAKARTA PENDIDIKAN PESANTREN 04 - Cahaya Tawadhu dari Ngrukem: In Memoriam KH. ‘Ashim Nawawi

Kabar duka menyelimuti langit Kabupaten Bantul. Ratusan orang dengan wajah muram berkumpul menyesaki ruas-ruas jalan menuju Pondok Pesantren (PP) An Nur Ngrukem, Pendowoharjo, Sewon, Bantul. Bertepatan pada hari Selasa Pahing, 07 Oktober 2025 M, atau 15 Rabi’ul Akhir 1447 Hijriah, sekitar pukul 08:25 WIB, KH. ‘Ashim Nawawi, Dewan Pengasuh Pondok Pesantren An Nur Ngrukem yang terkenal sederhana dan tawadhu itu mengembuskan napas terakhirnya setelah sehari sebelumnya menjalani perawatan intensif di RSUD Dr. Sardjito Yogyakarta.

Mbah ‘Ashim—demikian biasanya para santri menyebut beliau—merupakan putra pertama dari pendiri PP An Nur Ngrukem, Almaghfurlah KH. Nawawi Abdul Aziz (Mbah Nawawi). Beliau dikenal sebagai sosok dengan nada bicara yang lemah lembut, tingkah laku yang santun, dan berpenampilan sangat sederhana. Tidak banyak mungkin orang mengenal beliau, dan memang beliau bukan seorang kiai yang terkenal. Dunia luar yang penuh gemerlap seolah tidak mampu menjangkau kemilau ajaran Rasulullah Saw. yang terpancar dari tingkah laku beliau yang luar biasa.

Tetapi, bukankah dunia ini memang lebih banyak melahirkan “anak-anak” ketimbang “orang tua”? Ilmu tentang akhlaknya Rasulullah Saw. adalah “ilmu tua” yang hanya diminati oleh “orang tua”, sedangkan “anak-anak” cenderung tidak menyukai ilmu jenis ini.

Menyayangi Santri dan Alumni

Dalam sebuah pengajian, Mbah ‘Ashim pernah berpesan kepada para santrinya, “Guru itu harus memikirkan muridnya. Lebih baik mulang (mengajar)—kalau memang waktunya mulang—daripada berangkat ke resepsi. Datang ke resepsi toh hanya untuk makan-makan, sedangkan guru harus memikirkan muridnya.”

Memang, Mbah ‘Ashim dikenal sangat menyayangi para santri. Kasih sayang itu tidak berhenti ketika para santri telah boyong dari pesantren. Beliau selalu hadir ketika diundang oleh para alumni. Bahkan, tidak jarang beliau sendirilah yang menginisiasi pertemuan-pertemuan dengan alumni melalui media mengaji kitab.

Tak heran, rasa cinta itu memancar kuat dari para alumni PP An Nur Ngrukem yang begitu mencintai dan menghormati Mbah ‘Ashim. Saat beliau dibawa ke RSUD Dr. Sardjito Yogyakarta, para alumni—khususnya yang tinggal di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY)—bergegas datang ke PP An Nur. Mereka berjaga di ndalem beliau, menunjukkan betapa dalam hubungan kasih antara murid dan guru itu terjalin. Inilah salah satu bukti nyata dari dawuh beliau, “Murid itu adalah fotokopi gurunya.”

Kasih sayang Mbah ‘Ashim kepada para santri dan alumni PP An Nur Ngrukem tidak hanya tampak dalam pertemuan, perkumpulan, atau pengajian. Dengan penuh istikamah, beliau selalu menyebut para santri dalam doa. Sebab, bagi beliau, mengasuh santri tidak cukup hanya dengan mengajari secara zhahir, tetapi juga secara batin. Seperti dawuh beliau, “Mulang itu tidak cukup secara zhahir belaka, tetapi juga secara batin. Murid-muridnya dikirimi Surah Al-Fatihah.”

Mencintai Kitab Al-Hikam

Salah satu hal yang tak terlupakan dari sosok Mbah ‘Ashim adalah bandongan kitab Al-Hikam setiap pagi, yang telah beliau khatamkan puluhan kali sejak pertama kali diaji ketika masih muda.

Beliau sangat mencintai kitab tasawuf karya Syaikh Ibnu ‘Athaillah as-Sakandari itu karena Al-Hikam merupakan salah satu kitab kesayangan ayahanda beliau, Mbah Nawawi.

“Kitab Al-Hikam ini dulu biasa diajar oleh Mbah Nawawi. Saya hanya meneruskan saja apa-apa yang biasa diajari oleh Mbah Nawawi. Saya ingin melestarikan kitab kesukaan bapak,”
ujar beliau suatu kali ketika bercerita tentang hubungan antara Al-Hikam dan Mbah Nawawi.

Beliau juga menambahkan, “Kitab-kitab yang disenangi oleh bapak (Mbah Nawawi) dalam fiqih itu Fath al-Mu‘in, dalam tauhid itu Hasyiyah ad-Dasuqi ‘ala Umm al-Barahin, dan dalam tasawuf ya kitab Al-Hikam.” Kitab-kitab inilah yang beliau ajarkan di Madrasah Diniyah Al-Ma‘had An-Nur.

Konon, Mbah ‘Ashim telah mengkhatamkan kitab Al-Hikam sebanyak empat kali kepada Mbah Nawawi. Sebelumnya, beliau juga mengkhatamkan kitab ini kepada KH. Nurul Huda Djazuli sewaktu beliau mondok di Ploso. Tidak cukup di situ. Mbah ‘Ashim juga memiliki banyak versi kitab syarah (komentar) Al-Hikam untuk mendalami dan meneliti secara mendalam pandangan para ulama terhadap sejumlah pembahasan dalam kitab tersebut.

Kitab Al-Hikam merupakan kitab tasawuf yang memiliki keistimewaan tersendiri. Jika kitab-kitab tasawuf lain ibarat buku kedokteran yang bersifat teoretis maka Al-Hikam bagaikan kitab yang memuat daftar penyakit beserta obatnya. Bahkan, kadang-kadang kitab ini justru menyebut sebagai “penyakit” sesuatu yang oleh kebanyakan orang dianggap sebagai “obat”.

Menurut Mbah ‘Ashim, berkah kitab Al-Hikam sangatlah besar. Karena keberkahannya yang luar biasa itulah, kitab ini tergolong sangat sulit, baik untuk dibaca, dipahami, apalagi diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.

“Kitab ini berkahnya gede. Kitab ini sulit. Bacanya sulit, memahaminya sulit, mempraktikkan isinya pun sulit,” dawuh beliau.

Cahaya Tawadhu dari Ngrukem

Mbah ‘Ashim dikenal sebagai kiai yang paling tawadhu, paling qana’ah, dan paling “tidak macam-macam”. Kalau mengenal pribadi beliau, orang pasti tahu bahwa beliau sangat rendah hati, jauh dari kesombongan, merasa cukup dengan apa yang beliau miliki, tidak tamak, dan selalu bersyukur atas nikmat Allah Swt.

Mungkin hal ini terpancar dari kegigihan beliau dalam mengamalkan apa-apa yang diajarkan dalam kitab Al-Hikam. Ketika dalam pengajian kitab ini, beliau pernah menyampaikan, “Tirakat itu tidak harus puasa. Tirakat itu mengurangi kesenangan.”

Ya, kalau orang kebanyakan senang bicara, Mbah ‘Ashim paling irit bicara; kalau orang kebanyakan memanfaatkan waktunya bertungkus-lumus dengan dunia, Mbah ‘Ashim justru mewakafkan hampir seluruh waktunya mengajar (catat: dengan tidak digaji).

Kita benar-benar telah kehilangan sosok di mana cahaya hadis tentang ketawadhukan memancar dari arah Ngrukem. Kita tidak mengatakan bahwa Mbah ‘Ashim adalah satu-satunya kiai yang tawadhu, tetapi beliau benar-benar orang sepuh yang mengamalkan ajaran ketawadhuan dari Rasulullah Saw. Cahaya Rasulullah Saw. seolah memancar di Ngrukem lewat tingkah laku tawadhu beliau yang penuh teladan.

Tetapi, orang yang bahkan sangat sopan kepada yang lebih muda itu kini telah tiada. Orang yang mengesampingkan dunia demi menegakkan ilmu-ilmu Allah Swt. itu telah kembali ke hadirat-Nya. Orang yang tingkah lakunya indah menawan itu telah pergi meninggalkan kita. Tugas kita: melanjutkan nilai-nilai Mbah ‘Ashim dengan menundukkan diri demi meraih maqam tawadhu di sisi Allah Swt. [MAF].