(Laporan atas Diseminasi Hasil Riset Ketua LPPM IIQ An Nur Yogyakarta)
Bantul, 12 November 2025—Di dunia, terdapat banyak jenis bahasa isyarat, dan dalam satu bahasa pun bisa muncul lebih dari satu bentuk bahasa isyarat. Di Indonesia, misalnya, dikenal dua jenis bahasa isyarat: BUSINDO (Bahasa Isyarat Indonesia) dan SIBI (Sistem Isyarat Bahasa Indonesia). Keduanya berbeda dalam struktur, gerakan, ekspresi, serta variasi dialeknya. Demikian pula dalam konteks al-Qur’an, di berbagai negeri muslim, komunitas tunarungu mengembangkan ragam bahasa isyarat Qur’ani yang berbeda-beda.
Perbedaan tersebut muncul terutama karena perbedaan metode yang digunakan. Dalam bahasa isyarat Qur’ani, dikenal dua metode utama: kitabiyah (membaca mushaf al-Qur’an dengan pendekatan tulisan menggunakan isyarat) dan tilawah (membaca mushaf al-Qur’an melalui pendekatan bacaan dengan bahasa isyarat). Dari kedua metode ini, lahirlah beragam bentuk bahasa isyarat Qur’ani di berbagai komunitas.
Qur’an Indonesia Project (QIP) menggunakan kedua metode tersebut sekaligus mengembangkan pendekatan tersendiri. Metode yang mereka gunakan bisa disebut metode ma’nawi, yang di satu sisi mentransformasikan tulisan atau bacaan al-Qur’an ke bentuk isyarat, tetapi di sisi yang lain lebih berfokus pada menerjemahkan makna al-Qur’an ke dalam gerakan tangan dan ekspresi wajah.
Metode ini menjadi fokus penelitian yang dilakukan oleh Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) Institut Ilmu Al Qur’an (IIQ) An Nur Yogyakarta, Muhammad Saifullah, M.A., bersama Ratna Aryati Nurjanah. Hasil penelitian tersebut dipaparkan dalam acara Diseminasi Hasil Riset bertajuk “Al-Qur’an dan Kelompok Rentan: Hermeneutika, Inklusivitas, dan Praktik Pendidikan bagi Difabel Muslim”. Acara yang diselenggarakan pada Rabu (12/11/2025) di auditorium kampus tersebut dihadiri mahasiswa dari berbagai program studi dan fakultas. Penelitian ini mengkaji proses pemahaman makna al-Qur’an oleh instruktur QIP, penerjemahannya ke dalam bahasa isyarat, serta implementasi pendekatan tersebut dalam pedagogi inklusif berbasis daring.
QIP sendiri diinisiasi oleh sekelompok anak muda dengan visi yang sama: menyebarluaskan nilai-nilai al-Qur’an melalui rekaman audio-visual bacaan al-Qur’an disertai terjemahan bahasa Indonesia dan Inggris di media sosial. Pada tahun 2018, QIP telah menyelesaikan 4.365 rekaman ayat-ayat Al-Qur’an dan berhasil mendapatkan lebih dari 1.500.000 pendengar dari 50 negara melalui SoundCloud.
Pada tahun yang sama, QIP memperkenalkan inisiatif baru bernama QuranIDprojectISYARAT, yang fokus pada pendekatan komprehensif dan empatik kepada anak-anak tunarungu melalui pengembangan bahasa isyarat yang inovatif, kreatif, dan mudah diakses. Inisiatif ini membantu anak-anak tunarungu dalam membangun kesadaran diri dan menemukan hikmah dalam konteks tujuan hidup dalam ajaran Islam. Program ini dijalankan sebagai wirausaha sosial yang menempatkan dampak sosial di atas keuntungan finansial, berlandaskan tiga konsep utama: nilai-nilai al-Qur’an, pemuda, dan teknologi.
Dari Makna Teks ke Isyarat
Metode ma’nawi dalam bahasa isyarat yang dikembangkan QIP bekerja melalui dua pendekatan. Pertama, QIP memulai dengan memahami makna ayat-ayat al-Qur’an. Dalam proses mengalihkan ayat ke bentuk isyarat, mereka merujuk pada bahasa isyarat Arab serta sumber-sumber al-Qur’an dalam bentuk isyarat (baik kitabiyah maupun tilawah). Namun, QIP tidak mengikuti semua bentuk bahasa isyarat Arab secara kaku. Mereka memilih pendekatan kreatif yang berfokus pada penyampaian makna ayat secara efektif.
Sebagai contoh, ketika menerjemahkan frasa “bismillah”, mereka tidak mengeja setiap huruf atau menirukan struktur lafal Arab secara literal. Sebaliknya, mereka menyampaikan makna umum frasa tersebut, yakni “in the name of Allah”. Dengan demikian, produk yang dihasilkan adalah bahasa isyarat yang menonjolkan makna kalimat, bukan kata demi kata.
Menariknya, pendekatan berbasis makna ini tidak selalu diterapkan. Pada QS. al-Falaq ayat 2–5 dan QS. an-Naas ayat 4 dan 6, QIP menerjemahkan kata min bukan berdasarkan maknanya dalam konteks ayat, tetapi berdasarkan bentuk morfemnya sebagaimana dalam bahasa isyarat Arab. Namun, strategi yang sama tidak digunakan saat menerjemahkan min dalam bacaan ta’awwudz karena dalam kasus itu QIP memilih menggunakan terjemahan berbasis makna.
Kedua, QIP memadukan pemahaman makna ayat dengan rujukan bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, yang keduanya selalu ditampilkan dalam bentuk teks (subtitle) pada setiap video pembelajaran bacaan al-Qur’an. Karena itu, QIP turut mempertimbangkan bentuk-bentuk bahasa isyarat yang digunakan dalam kedua bahasa tersebut. Meski demikian, mereka tetap memberi prioritas pada BISINDO dan SIBI sebagai basis utama. Namun demikian, QIP juga menyadari bahwa baik bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris tidak mampu menangkap unsur musikalitas dalam al-Qur’an—seperti nada, tekanan, atau ritme pada huruf tertentu—yang sering memberi nuansa emosional pada makna.
Misalnya, getaran dan ritme pada huruf mim atau ha’ dalam kata ar-Raḥman dan ar-Raḥim. Untuk mengatasi keterbatasan itu, QIP mengembangkan kreasi gerak sendiri menggunakan variasi tangan, pengulangan gerakan, getaran jari, serta ekspresi wajah yang sesuai dengan pesan emosional ayat. Dalam beberapa video, misalnya, penerjemah memperlihatkan ekspresi wajah yang menggambarkan rasa takjub atau takut ketika menyampaikan ayat tentang keagungan Tuhan, dan raut murung atau tidak suka ketika menerjemahkan bagian yang berkaitan dengan setan atau hal-hal negatif.
Pedagogi Qur’ani yang Inklusif
Keputusan QIP untuk mengembangkan materi pembelajaran al-Qur’an menggunakan bahasa isyarat yang didasarkan pada usaha memahami kandungan ayat-ayat ini mendapat respons positif dari warganet, termasuk komunitas tunarungu. Antusiasme mereka muncul karena masih jarangnya inisiatif anak muda yang menggabungkan fokus pada al-Qur’an dengan perhatian terhadap disabilitas, serta karena platform QIP menyediakan konten berbasis bahasa isyarat yang bersifat instruksional sekaligus demonstratif sehingga sangat membantu memperluas akses bagi pengguna tunarungu.
Secara pedagogis Qur’ani, QIP lebih menonjolkan pemahaman makna dibandingkan sekadar penerjemahan literal ayat. Pendekatan semacam ini memberikan ruang bagi pembelajar untuk memperoleh pemahaman yang lebih kaya daripada terjemahan Indonesia atau Inggris yang biasa tersedia. Bagi pelajar tunarungu, metode ini menghadirkan pengalaman belajar yang berbeda karena mereka dapat menyerap ajaran al-Qur’an melalui ekspresi tubuh dan gerakan visual yang lebih hidup.
Para peserta program QIP menyebutkan bahwa pendekatan tersebut memungkinkan mereka “merasakan” keindahan dan nuansa emosional bacaan al-Qur’an secara tidak langsung melalui isyarat tangan dan ekspresi wajah. Namun, penerima manfaat program juga mengungkapkan bahwa penggunaan bahasa isyarat penuh dapat menjadi tantangan bagi anak-anak tingkat sekolah dasar. Karena itu, mereka menilai keputusan QIP untuk memasukkan teks terjemahan dalam bahasa Indonesia dan Inggris bersama bahasa isyarat sebagai langkah yang tepat karena membantu siswa yang masih membutuhkan penjelasan non-isyarat untuk memahami materi.
Prinsip pedagogi inklusif berpijak pada signifikansi akses yang setara sehingga peserta didik dapat belajar tanpa merasa tersisih. Sejalan dengan hal ini, salah satu penerima manfaat menjelaskan bahwa ketika ia menggunakan video pembelajaran QIP di rumah, ia dapat belajar secara mandiri tanpa merasa diperlakukan berbeda. Hal ini memperlihatkan potensi pembelajaran daring—terutama yang dilengkapi fitur aksesibilitas—untuk menciptakan ruang belajar yang benar-benar inklusif, di mana semua siswa dapat berpartisipasi dengan bebas tanpa mengalami stigma atau pengasingan. [MAF].