Bantul, 12 November 2025— Ketika Direktur Pascasarjana Institut Ilmu Al Qur’an (IIQ) An Nur Yogyakarta, Dr. Moch. Taufiq Ridho, M.Pd., melakukan penelitian di Yayasan Kesejahteraan Tunanetra Islam (Yaketunis) Yogyakarta, ia menemukan pengalaman yang mengharukan. Setiap kali ia bertanya kepada para siswa tunanetra tentang alasan mengapa mereka begitu antusias mempelajari al-Qur’an, jawabannya hampir selalu sama, “Saya melihat terang dalam gelap, Pak.”
Tidak hanya bersemangat mempelajari al-Qur’an melalui huruf Braille, para siswa Yaketunis juga memiliki motivasi tinggi untuk menjalani hidup sebagaimana orang-orang yang dianggap “normal” (non-disabilitas). Mereka berangkat ke sekolah sendiri, mengurus keperluan sendiri, dan menunjukkan ketangkasan serta kemandirian yang tidak kalah dengan orang lain. Pengalaman inilah yang kemudian mendorong Taufiq untuk meneliti lebih mendalam tentang kehidupan spiritual dan pendidikan mereka.
| BACA JUGA: Al-Qur’an sebagai Sunduq al-‘Ilm wa al-Ruh Menyoal Pendidikan Islam dalam Terang Tafsir Tarbawi Bagaimana Jika al-Qur’an dan Hadis Ditilik dari Kacamata Poskolonial? |
Kisah tersebut menjadi awal dari penelitian yang akhirnya mengantarkan Taufiq pada penemuan model tafsir heterodoksi tarbawiyah yang ia rumuskan dari refleksinya terhadap QS. ‘Abasa [80]: 1–4. Temuan ini ia paparkan dalam acara Diseminasi Hasil Riset bertajuk “Al-Qur’an dan Kelompok Rentan: Hermeneutika, Inklusivitas, dan Praktik Pendidikan bagi Difabel Muslim”, yang digelar pada Rabu (12/11/2025) di auditorium kampus IIQ An Nur Yogyakarta.
Acara tersebut diselenggarakan oleh Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) IIQ An Nur Yogyakarta bekerja sama dengan Program Magister Pendidikan Agama Islam (M-PAI) dan Lembaga Studi Ilmu Al-Qur’an dan Hadits (LSIQH). Dalam kesempatan itu, Taufiq memaparkan hasil penelitiannya yang berjudul “Diskursus Disabilitas dalam al-Qur’an: Tafsir, Paradigma, dan Praktik di Lembaga Pendidikan.” Penelitian ini bertujuan, antara lain, untuk mengkaji konstruksi ortodoksi dalam penafsiran QS. ‘Abasa [80]: 1–4 serta bentuk heterodoksi pemahaman terhadap ayat yang sama sebagaimana termanifestasi dalam praktik pendidikan di Yaketunis Yogyakarta.
Ortodoksi Penafsiran QS. ‘Abasa [80]: 1–4
Ath-Thabari meriwayatkan bahwa suatu ketika Rasulullah Saw. sedang berbicara dengan para pembesar Quraisy—di antaranya Utaibah bin Rabi‘ah, Abu Jahal bin Hisyam, dan Abbas bin Abdul Muttalib—dengan harapan mereka dapat menerima dakwah Islam. Di tengah percakapan itu, datanglah seorang lelaki buta bernama Ibnu Ummi Maktum, yang memohon agar Rasulullah Saw. mengajarinya ayat-ayat Al-Qur’an. Ia berkata, “Wahai Rasulullah, ajarilah aku dengan apa yang telah Allah ajarkan kepadamu.” Karena sedang fokus berbicara dengan para tokoh Quraisy, Rasulullah Saw. berpaling dan bermuka masam, kemudian melanjutkan pembicaraan beliau. Dalam riwayat Tirmidzi disebutkan, setelah itu, Nabi Saw. bertanya kepada para pembesar Quraisy itu, “Apakah yang aku sampaikan kepadamu baik?” Mereka menjawab, “Tidak.” Lalu, turunlah QS. ‘Abasa [80]: 1–4, sebagai teguran Allah kepada Rasulullah Saw.
Taufiq meneliti ragam penafsiran klasik dan modern terhadap ayat ini, khususnya dalam kaitannya dengan diskursus disabilitas. Dari kajian berbagai mufasir, ia mengelompokkan pandangan mereka ke dalam dua arus besar: ta’dib (pendidikan moral) dan ‘iṣmat al-rasul (keterjagaan Rasulullah Saw. dari dosa).
Kelompok pertama, yakni para mufasir Sunni, menafsirkan ayat ini dalam kerangka ta’dib. Menurut mereka, QS. ‘Abasa [80]: 1–4 memuat dua bentuk pengajaran moral: pertama, Rasulullah Saw. sedang mengajarkan adab kepada Ibnu Ummi Maktum agar tidak menyela pembicaraan; kedua, Allah Swt. menegur Rasulullah Saw. agar lebih santun terhadap penyandang disabilitas yang ingin belajar agama.
Ar-Razi menjelaskan, meski Ibnu Ummi Maktum tidak dapat melihat, ia tetap bisa mendengar Rasulullah Saw. yang sedang berbicara serius dengan para tokoh Quraisy. Karena itu, tindakannya memotong pembicaraan Nabi Saw. dianggap tidak sopan dan merupakan maksiat besar. Namun, Allah Swt. tetap menegur Nabi Saw. agar menunjukkan empati dan menghormati semangat belajar Ibnu Ummi Maktum.
Setelah kejadian itu, sebagaimana diriwayatkan oleh Ath-Thabari, Rasulullah Saw. senantiasa memuliakan Ibnu Ummi Maktum, bahkan pernah menjadikannya wakil imam shalat. Menurut Az-Zamakhsyari, Nabi Saw. selalu menyambutnya dengan ucapan, “Selamat datang, wahai orang yang karenanya Allah menegurku. Apa yang engkau butuhkan?”
Sementara itu, kelompok kedua, yakni para mufasir Syi‘ah—kecuali Az-Zamakhsyari—menolak anggapan bahwa yang ditegur dalam ayat ini adalah Rasulullah Saw. Mereka berpijak pada prinsip ‘iṣmat al-rasul, bahwa Nabi Saw. mustahil melakukan tindakan tercela seperti bermuka masam kepada orang buta karena beliau adalah teladan moral dan pembawa risalah penyempurna akhlak. Menurut Nasim Makarim al-Syirazi, Nabi Saw. memiliki dua tanggung jawab: membimbing umat dan menjaga kelembutan hati. Maka, tidak mungkin beliau melanggar nilai moral yang beliau serukan sendiri.
Al-Qummi menyebut bahwa tokoh yang dimaksud dalam ayat itu adalah Utsman bin Affan, yang berpaling saat Rasulullah Saw. memperkenalkan Ibnu Ummi Maktum kepadanya. Adapun Imam Ja‘far ash-Shadiq menyatakan, orang yang dimaksud berasal dari kalangan Bani Umayyah yang bermuka masam ketika Ibnu Ummi Maktum datang menyela. Menurut Allamah Thabathaba’i, teguran QS. ‘Abasa [80]: 1–4 sesungguhnya ditujukan kepada siapa pun yang lebih memuliakan orang kaya dibanding orang yang lemah, dan orang itu, tegasnya, pasti bukan Rasulullah Saw.
Model Penafsiran Heterodoksi Tarbawiyah
Model penafsiran heterodoksi tarbawiyah yang dirumuskan oleh Taufiq memiliki beberapa tahapan dan prinsip dasar yang menggambarkan dinamika antara teks, konteks, dan praksis sosial. Secara umum, teori ini memuat dua tahap utama, yakni tahap ortodoksi dan tahap heterodoksi, yang masing-masing memiliki prinsip, orientasi, serta bentuk manifestasi yang berbeda. Pertama, tahap ortodoksi. Tahap ini berakar pada pendekatan normatif-teologis terhadap teks suci. Pada tahap ini, penafsiran diarahkan untuk menemukan makna-makna ideal al-Qur’an sebagaimana yang diwariskan oleh para mufasir klasik. Dalam konteks Yaketunis, tahap ini terefleksi dalam keyakinan dasar mereka mengenai latar belakang turunnya QS. ‘Abasa [80]: 1–4, yang menjadi fondasi teologis berdirinya lembaga tersebut.
Yaketunis didirikan pada awal Januari 1964 oleh Supardi Abdussamad, seorang tunanetra sekaligus santri Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta. Inspirasi pendirian lembaga ini berangkat dari kisah Ibnu Ummi Maktum yang, meskipun tunanetra, namun memiliki semangat luar biasa untuk hidup setara dengan yang lain dan mengambil kesempatan yang sama dengan yang lain, dalam konteks ini belajar agama kepada Rasulullah Saw. Ini dilakukannya sedemikian rupa sehingga Allah Swt. memuliakan Ibnu Ummi Maktum dengan turunnya QS. ‘Abasa [80]: 1–4.
Bagi warga Yaketunis, ayat tersebut menjadi simbol teguran Allah Swt. yang menegaskan urgensi pendidikan bagi semua kalangan, termasuk kaum difabel, serta menolak segala bentuk diskriminasi terhadap mereka. Dalam penafsiran ortodoksinya, komunitas Yaketunis memahami bahwa Allah Swt. menginginkan Nabi Saw. memperlakukan kaum tunanetra setara dengan orang-orang lain—bahkan dengan mereka yang berstatus sosial tinggi—dalam hak memperoleh Pendidikan dan penghargaan.
Dengan demikian, secara ortodoksi, Yaketunis memilih mengikuti semangat ta’dib (pendidikan moral dan spiritual) dalam penafsiran ayat ini daripada ‘iṣmat al-rasul. Pandangan ini menandai adanya pergeseran kecil dalam orientasi tafsir, dari pemuliaan figur kenabian menuju penekanan pada nilai-nilai pendidikan dan kesetaraan manusia.
Kedua, tahap heterodoksi. Tahap ini menandai pergeseran dari pendekatan hermeneutis berbasis teks menuju pendekatan non-hermeneutis berbasis aktivisme sosial. Prinsip yang digunakan pada tahap ini adalah pragmatis-emansipatoris, yakni menjadikan penafsiran sebagai alat pembebasan (emansipasi) bagi kelompok rentan melalui tindakan nyata di bidang pendidikan dan sosial. Pendirian Yaketunis oleh Supardi Abdussamad merupakan wujud konkret dari tafsir heterodoks ini.
Supardi membawa QS. ‘Abasa [80]: 1–4 tidak hanya dalam tahap ortodoksi, tetapi lebih jauh mengimplementasikannya dalam realitas sosial melalui perjuangan pendidikan bagi tunanetra. Tujuan utamanya sederhana: agar para penyandang disabilitas, khususnya tunanetra, memiliki semangat belajar agama sebagaimana semangat Ibnu Ummi Maktum, serta memperoleh hak pendidikan dan kesetaraan sosial yang sama dengan masyarakat umum. Dengan model penafsiran demikian, Yaketunis menghadirkan diskontinuitas dari tradisi penafsiran klasik. Mereka tidak berhenti pada tataran makna tekstual ayat. Mereka melahirkan nalar heterodoksi baru, sebuah cara pandang tafsir yang menjembatani antara pemahaman teologis dan aksi sosial. Nalar inilah yang kemudian tampak dalam berbagai program kerja dan kegiatan sosial Yaketunis.
Secara filosofis, pemikiran Yaketunis yang bersumber dari QS. ‘Abasa [80]: 1–4 diterjemahkan menjadi gerakan praktis melalui pendirian yayasan, lembaga pendidikan, serta pengembangan pembelajaran Al-Qur’an bagi penyandang disabilitas. Aktivisme sosial semacam ini dipandang sebagai bentuk nyata tafsir kontekstual: tafsir yang dibaca sekaligus dihidupkan dalam tindakan.
Yaketunis menginisiasi berbagai langkah strategis, seperti pendirian sekolah khusus tunanetra, pengembangan kurikulum pembelajaran al-Qur’an Braille, serta pelatihan kemandirian hidup bagi penyandang disabilitas. Melalui kegiatan tersebut, tafsir terhadap surah QS. ‘Abasa [80]: 1–4 menemukan bentuk praksisnya yang paling utuh, yakni menjadi inspirasi untuk pemberdayaan dan transformasi sosial. [MAF].