
Yogyakarta—Ahli bahasa Arab asal Libya, Ustadz Shalih al-‘Umair Muhammad al-Bika-i, berkunjung ke Institut Ilmu Al Qur’an (IIQ) An Nur Yogyakarta pada Rabu (10/07). Kunjungan ini ia lakukan demi memenuhi undangan Lembaga Bahasa IIQ An Nur Yogyakarta yang belakangan ini sedang berbenah diri untuk menjadi lembaga bahasa profesional dan kompeten di bidang bahasa asing, utamanya bahasa Arab dan Inggris.
Begitu Shalih sampai di IIQ An Nur Yogyakarta, ia diterima di ruang tamu oleh para petinggi kampus berbasis Al-Qur’an dan kepesantrenan itu, di antaranya Rektor Dr. Muhammad Shihabul Millah, M.A., Wakil Rektor III KH. Dr. Khoirun Niat, M.A., dan Khoirul Imam, S.Th.I., M.Ag., serta Ketua Lembaga Bahasa IIQ An Nur Yogyakarta Dr. Muhammad Subhan Azhari, M.Pd.I. Mereka melakukan FGD (focus group discussion) seputar bagaimana sebaiknya Lembaga Bahasa IIQ An Nur Yogyakarta dikembangkan, utamanya di bidang bahasa Arab.
Selesai FGD, Shalih didapuk menjadi pembicara dalam seminar internasional yang digelar di Auditorium IIQ An Nur Yogyakarta. Subhan menemaninya sebagai pembicara kedua. Seminar bertema “Problem dan Solusi Pengembangan Bahasa Arab di Universitas” ini dimoderatori oleh Imam.
Sebelum seminar dimulai, Shihab memberikan sambutan. Ia menyatakan bahwa Lembaga Bahasa IIQ An Nur Yogyakarta kini secara serius akan membenahi diri tahap demi tahap untuk menjadi lembaga bahasa yang profesional dan kompeten tidak hanya di lingkungan kampus, melainkan juga di Yogyakarta.
“Mimpi kami adalah bagaimana kelak Lembaga Bahasa IIQ An Nur Yogyakarta berkembang menjadi lembaga bahasa yang profesional dan kompeten di Yogyakarta. Jadi, misal ada orang ingin belajar atau mengembangkan bahasa asing di Yogyakarta, referensi utamanya adalah lembaga bahasa yang kita punya ini,” tegasnya.
Dalam presentasinya, Shalih menyatakan bahwa menurut pengamatannya, ada problem umum yang terjadi dalam pembelajaran bahasa Arab di negara-negara non-Arab, termasuk juga di Indonesia. Pertama, mereka yang baru belajar bahasa Arab, pada waktu yang bersamaan juga langsung belajar nahwu dan sharraf. Padahal, menurutnya, nahwu dan sharraf itu perlu dipelajari justru setelah orang bisa bicara dalam bahasa Arab dan bisa membaca teks-teks Arab. Kedua, mereka yang baru belajar bahasa Arab, belajarnya dari buku-buku teks yang umumnya menyajikan kalimat-kalimat Arab beserta terjemahannya. Menurutnya, kalau mau belajar bahasa Arab, jangan dari terjemahannya, melainkan langsung kepada teks aslinya.
“Jangan pernah menerjemahkan bahasa Arab karena sistem gramatika bahasa Arab dengan bahasa non-Arab sangat berbeda. Sebab, kalau belajar dari terjemahan, maka feel (rasa) bahasanya tetap feel bahasa non-Arab, sekalipun sedang berbahasa Arab,” ucapnya.
Dari problem-problem pembelajaran bahasa Arab yang ia paparkan itu, Shalih memberikan solusi agar pembelajar cepat bisa berbahasa Arab. Solusinya hanya dua: banyak mendengar orang berbahasa Arab dan banyak membaca teks-teks Arab.
“Mendengar itu adalah kunci untuk bisa berbicara dalam bahasa Arab, sedangkan membaca adalah kunci untuk mengetahui strukturnya sehingga dengan mengetahui struktur, kita dapat pula menulis dalam bahasa Arab. Kalau baru belajar Arab, jangan dulu pikir artinya. Yang terpenting mendengar dan membaca saja dulu setiap waktu, setiap hari, nanti lama-lama akan tahu sendiri artinya,” tukas Shalih.
Subhan, yang mempresentasikan problem-problem umum yang dihadapi oleh para pembelajar bahasa Arab berikut solusinya, membenarkan apa yang dipaparkan oleh Shalih. Ia menyarankan, kalau mendengar, jangan mendengarkan sinetron, lagu, atau komunikasi sehari-hari orang-orang Mesir, Yaman, Uni Emirat Arab, dan yang lainnya karena mereka menggunakan bahasa “pasaran”.
“Dan, kalau mendengar atau membaca, harus berkali-kali, minimal 10 kali, baru kemudian akan memahami maksudnya,” ucap Subhan.
Ruangan auditorium penuh oleh puluhan mahasiswa yang terlihat antusias mendengarkan pemaparan-pemaparan dari para penyaji. Hadir juga dalam seminar internasional tersebut para dekan dan dosen IIQ An Nur Yogyakarta. (MAF).