Menyoal Pendidikan Islam dalam Terang Tafsir Tarbawi

WhatsApp Image 2025 10 25 at 12.38.54 - Menyoal Pendidikan Islam dalam Terang Tafsir Tarbawi
(Liputan atas Visiting Professor Prof. Dr. KH. Abdul Mustaqim, M.Ag.)

Kata iqra’ dalam QS. al-‘Alaq [96]: 1–5 berasal dari akar kata kerja qara’a yang pada mulanya bermakna ‘menghimpun.’ Namun, mengapa kemudian diterjemahkan sebagai ‘membaca’? Sebab, sejatinya, membaca adalah aktivitas menghimpun, baik menghimpun makna, tanda, atau realitas dalam kesadaran manusia. Membaca adalah tindakan intelektual yang menyatukan berbagai pengetahuan menuju pemahaman yang utuh.

Menariknya, dalam ayat tersebut, kata iqra’ tidak memiliki maf’ul bih (objek langsung). Dalam kaidah bahasa Arab, jika suatu kata kerja tidak disertai objek maka ia bermakna menyeluruh (bi ma’na syaamil). Artinya, perintah iqra’ mencakup segala bentuk pembacaan, baik terhadap ayat-ayat qauliyyah (firman Allah Swt. yang tertulis dalam al-Qur’an) maupun ayat-ayat kauniyyah (tanda-tanda kebesaran-Nya di alam semesta).

“Namun, perlu diingat bahwa setiap pembacaan harus diniatkan murni karena dan untuk mengagungkan Allah Ta‘ala. Sebab, kalimat berikutnya adalah bismi rabbikalladzi khalaq, dengan nama Tuhanmu yang menciptakan,” ujar Prof. Dr. KH. Abdul Mustaqim, M.Ag.

“Untuk menjadi pembaca yang sejati, seseorang harus menjadi insan, bukan sekadar basyar. Basyar menunjuk pada manusia secara biologis, sedangkan insan adalah manusia yang memiliki akal, ilmu, dan alat komprehensif untuk mencapai kebenaran dalam proses membaca,” imbuhnya.

BACA JUGA:

Ekoteologi Mazhab IIQ An Nur Yogyakarta Menggema di Bali
Bagaimana Jika al-Qur’an dan Hadis Ditilik dari Kacamata Poskolonial?
Ada “Barat” dalam Pikiran dan Kesadaran Kita

Pernyataan ini disampaikan oleh Mustaqim dalam sesi visiting professor di Gedung Pascasarjana Institut Ilmu Al Qur’an (IIQ) An Nur Yogyakarta, Sabtu (25/10/2025). Dalam forum bertajuk “Tujuan Pendidikan Islam Perspektif Tafsir Tarbawi” itu, ia diundang secara khusus untuk memperkenalkan paradigma tafsir tarbawi kepada mahasiswa Magister Pendidikan Agama Islam (M-PAI).

Membaca al-Qur’an dengan Kesadaran Pendidikan

Menurut Mustaqim, tafsir tarbawi adalah metode penafsiran al-Qur’an yang berupaya menggali nilai, prinsip, dan metodologi pendidikan Islam yang terkandung dalam ayat-ayat suci al-Qur’an. Aksentuasi utamanya terletak pada bagaimana hasil tafsir dapat menjelaskan nilai-nilai Qur’ani yang membentuk akhlak, karakter, dan pola pikir manusia. Dalam dimensi penafsirannya, mufasir mengkaji aspek-aspek linguistik untuk kemudian menembus ranah spiritual, moral, intelektual, dan sosial. Tujuannya adalah membentuk manusia menjadi insan kamil (manusia paripurna secara iman, ilmu, dan amal).

“Tafsir tarbawi mengkaji ayat-ayat yang berkaitan dengan pembentukan karakter, metode pembelajaran, peran pendidik dan peserta didik, serta nilai-nilai moral, seperti kesabaran, tanggung jawab, dan kedisiplinan. Kisah-kisah dalam al-Qur’an, termasuk nasihat Luqman kepada anaknya, menjadi role model pendidikan Islam yang paling gamblang,” jelas Mustaqim.

Secara metodologis, tafsir tarbawi menggunakan pendekatan yang sama dengan tafsir klasik, seperti tahlili (analitis), maudhu’i (tematik), ijmali (global), dan muqaran (perbandingan). Perbedaannya terletak pada orientasi epistemologisnya, yakni bahwa tafsir tarbawi berfokus pada penemuan nilai-nilai pendidikan yang bersifat aplikatif.

Seorang mufasir, kata Mustaqim, dapat memulai dari analisis kebahasaan untuk menemukan makna tarbawi dalam teks, atau sebaliknya, berangkat dari konteks sosial pendidikan lalu menjadikannya batu pijak untuk membuka makna ayat yang relevan. Dengan pendekatan ini, antara teks dan konteks dibuat saling menerangi.

Konsep Dasar Pendidikan Islam

Untuk mencapai tujuan pendidikan Islam, yakni pembentukan insan kamil, para ilmuwan muslim sepakat menempatkan al-Qur’an sebagai sumber utama nilai, metode, dan arah pendidikan, sementara hadis Nabi Muhammad Saw. dijadikan pedoman praktis dalam penerapannya. Mustaqim mencontohkan beberapa ayat al-Qur’an yang dianggap sebagai fondasi konseptual pendidikan Islam, seperti QS. al-‘Alaq [96]: 1–5 yang memuat perintah membaca dan mencari ilmu, QS. Luqman [31]: 12–19 tentang pendidikan moral akhlak Qur’ani, QS. al-Baqarah [2]: 30–31 yang menjelaskan hakikat manusia sebagai khalifah di bumi, dan QS. al-Mujadalah [58]: 11 yang menegaskan keharusan penghormatan kepada orang berilmu.

Melalui pendekatan tafsir tarbawi, Mustaqim menegaskan bahwa ayat-ayat tersebut, jika dibaca secara terpadu, melahirkan konsepsi utuh tentang tujuan pendidikan Islam, yakni sebagai realisasi penghambaan kepada Allah Swt. sebagai inti dari seluruh aktivitas belajar; pembentukan akhlak mulia dan karakter Qur’ani dengan tujuan agar ilmu yang diperoleh melahirkan kebajikan dan keadaban; pengembangan potensi fitrah manusia, baik akal, ruh, maupun jasmani; persiapan manusia sebagai khalifah di bumi, yang mampu memimpin, mengelola, dan menjaga keseimbangan alam serta masyarakat; serta, sebagai perwujudan kebahagiaan dunia dan akhirat, hasil dari keselarasan antara iman, ilmu, dan amal.

Lebih lanjut, Mustaqim menjelaskan bahwa pendidikan Islam, melalui tafsir tarbawi atas ayat-ayat tersebut, mencakup empat dimensi utama yang harus terintegrasi secara harmonis, yaitu ruḥaniyyah/spiritual (membentuk kesadaran ketuhanan dan keikhlasan dalam beramal), fikriyyah/intelektual (menumbuhkan daya nalar, kemampuan berpikir kritis, dan semangat mencari kebenaran ilmiah), jismiyyah/fisik (mengajarkan pentingnya menjaga kesehatan, kedisiplinan, dan ketahanan tubuh, karena fisik yang kuat merupakan prasyarat bagi pengabdian dan kerja produktif), dan ijtima’iyyah/sosial (membentuk kesadaran kemasyarakatan, empati, dan tanggung jawab sosial).

Keempat aspek ini saling melengkapi, membentuk pribadi muslim yang seimbang dan beradab. Ketika aspek spiritual mengarahkan tujuan, intelektual mengolah pengetahuan, fisik menopang aktivitas, dan sosial mengatur relasi maka terbentuklah sosok insan kamil, manusia yang utuh secara iman, ilmu, dan amal.

“Jadi, secara ontologis, tujuan pendidikan Islam memang dimaksudkan untuk menanamkan kesadaran bahwa manusia diciptakan untuk menjadi ‘abd (hamba Allah Swt.) sekaligus khalifah (pemakmur bumi). Karena itu, orientasi pendidikan Islam selalu mencakup dua dimensi, yakni ta’lim (transfer ilmu) dan tazkiyah (penyucian jiwa),” tegas Mustaqim. [MAF].