Bagaimana Jika al-Qur’an dan Hadis Ditilik dari Kacamata Poskolonial?

WhatsApp Image 2025 10 17 at 15.38.32 - Bagaimana Jika al-Qur’an dan Hadis Ditilik dari Kacamata Poskolonial?
(Catatan dari Studium Generale Dr. Abdul Jabpar, M.Phil.)

Bantul, 17 Oktober 2025—“Nusantara memiliki sejarah dan tradisi yang luar biasa. Jika kita menggali kekayaan itu dalam terang dekolonisasi, saya yakin akan lahir ilmu-ilmu baru dan perspektif-perspektif segar yang mencerahkan. Seperti Saba Mahmood yang, melalui studi etnografinya di Mesir, menemukan corak baru feminisme Islam yang disebut politics of piety atau politik keshalihan,” ujar Dekan Fakultas Ushuluddin Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) An Nur Yogyakarta dalam acara studium generale yang digelar pada Jum’at (17/10/2025).

Acara yang berlangsung di gedung auditorium kampus tersebut menghadirkan dua pembicara, Dr. Katrin Bandel (dosen Pascasarjana Universitas Sanata Dharma) dan Dr. Abdul Jabpar, M.Phil. (Ketua Program Studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir IIQ An Nur Yogyakarta) dengan tema “Dekolonisasi Pengetahuan: Membaca Al-Qur’an dan Hadis dalam Perspektif Teori Poskolonial.”

Dalam pemaparannya, Katrin mengulas teori poskolonial serta dekolonisasi kontemporernya. Sementara itu, Jabpar mempresentasikan makalah berjudul “Dekolonisasi Pengetahuan: Membaca Al-Qur’an dan Hadis dalam Perspektif Teori Postkolonial.”

BACA JUGA:
Ada “Barat” dalam Pikiran dan Kesadaran Kita
Mengapa Ekonomi Islam Penting?
Keuangan Syariah, Dunia Digital, dan Eksistensi Mahasiswa
Ekoteologi IIQ An Nur Yogyakarta Menggema di Bali: Catatan dari Rihlah Ilmiah Rektor
Cahaya Tawadhu dari Ngrukem: In Memoriam KH. ‘Ashim Nawawi
Kolonisasi Pengetahuan

Jabpar menjelaskan bahwa kolonisasi pengetahuan dalam studi al-Qur’an dan hadis setidaknya berjalan melalui tiga bentuk utama. Pertama, hegemoni epistemik (epistemic hegemony). Sejak abad ke-19, tokoh-tokoh seperti Theodor Nöldeke, Ignaz Goldziher, Joseph Schacht, dan John Wansbrough telah membangun fondasi metodologis bagi studi al-Qur’an dan hadis di dunia Barat melalui pendekatan historis-kritis. Dalam kerangka ini, al-Qur’an dan hadis diperlakukan sebagai artefak budaya yang dapat dikaji semata-mata dengan perangkat filologi, antropologi, atau sejarah. Akibatnya, al-Qur’an lebih dipahami sebagai produk sosial masyarakat Arab abad ke-7 daripada sebagai kalam Ilahi yang transenden.

“Pendekatan semacam ini pada dasarnya menolak epistemologi Islam yang menegaskan transendensi wahyu,” jelas Jabpar.

“Dengan menjadikan al-Qur’an dan hadis hanya sebagai teks empiris, para orientalis sesungguhnya telah memisahkan makna wahyu dari sumber ilahiahnya,” tambahnya.

Sebagai contoh, lanjut Jabpar, Wansbrough menilai bahwa teks al-Qur’an memiliki kemiripan dengan kisah-kisah dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Bahkan, Wansbrough sampai menuduh al-Qur’an menjiplak dua kitab tersebut.

Sementara, dalam studi hadis, Goldziher berpendapat bahwa banyak hadis tidak berasal langsung dari Nabi Muhammad Saw., melainkan dikarang atau dimodifikasi oleh generasi muslim sekitar dua abad setelah wafatnya Nabi Saw. Tujuannya, kata Goldziher, adalah untuk melegitimasi kepentingan politik, mazhab, atau golongan tertentu. Tesis itu ia perkuat dengan temuan bahwa perdebatan fikih dan teologi pada abad ke-2 H kerap dijustifikasi dengan hadis-hadis yang “mendukung” masing-masing posisi sehingga setiap kelompok memiliki hadis sendiri yang saling berlawanan.

Kedua, reduksionisme epistemik (epistemic reductionism). Konsekuensi dari hegemoni epistemik ini sangat mendalam karena menempatkan epistemologi Islam—yang bersandar pada keyakinan akan kebenaran wahyu—sebagai pengetahuan yang dianggap tidak ilmiah. Cara berpikir demikian menjadikan Barat sebagai subjek penentu atas apa yang kita sebut sebagai “ilmu”.

“Padahal, klaim objektivitas metodologi Barat tidaklah bebas nilai. Ia sarat dengan bias sekuler yang memisahkan al-Qur’an dari sumber ketuhanannya. Sehingga, yang tersisa hanyalah teks sosial yang kehilangan kedalaman metafisis,” tegas Jabpar.

Reduksionisme epistemik ini, lanjutnya, pada akhirnya menggeser relasi antara ilmu dan iman dalam masyarakat muslim sendiri. Generasi terdidik yang dibentuk oleh rasionalitas sekuler sering memandang dimensi spiritual sebagai penghambat kemajuan ilmu.

“Padahal, dalam tradisi Islam, ilmu selalu terkait erat dengan etika dan transendensi. Ketika pengetahuan dipisahkan dari iman, kebenaran menjadi relatif, terfragmentasi, dan kehilangan orientasi moral,” ujarnya.

Ketiga, eksklusi epistemik (epistemic exclusion), yakni penghapusan tradisi keilmuan Islam dari ruang teori. Pengetahuan Islam klasik seperti ulumul Qur’an, ilmu tafsir, balaghah, dan sistem sanad yang selama berabad-abad dikembangkan oleh para ulama kini hanya diperlakukan sebagai data sejarah. Dengan menghapus tradisi Islam dari ranah teori, wacana ilmiah modern memperkuat ilusi bahwa hanya metode Barat yang mampu menghasilkan pengetahuan yang sahih.

“Oleh sebab itu, krisis epistemologis dalam studi al-Qur’an bukan hanya soal metodologi, tetapi juga soal kehilangan orientasi nilai,” kata Jabpar menegaskan.

Dekolonisasi

Kesadaran akan bias dan ketimpangan tersebut, lanjut Jabpar, menuntut upaya sadar untuk melakukan dekolonisasi pengetahuan. Dekolonisasi tidak berarti menolak ilmu Barat karena ilmu-ilmu itu telah teruji. Dekolonisasi lebih berorientasi pada penegakan keadilan epistemik. Jabpar menguraikan empat langkah menuju arah itu.

Pertama, mengembalikan al-Qur’an ke pusatnya (recentering the Qur’an), yakni menempatkan al-Qur’an dan tradisi Islam sebagai subjek pengetahuan, bukan lagi objek kajian. Wahyu harus diakui sebagai sumber epistemologi yang sah.

“Sederhananya,” kata Jabpar, “recentering berarti menggeser posisi dari ‘kami meneliti al-Qur’an’ menjadi ‘Al-Qur’an berbicara kepada kita.”

“Metode pengetahuan Qur’ani itu sejatinya sangat luas ketimbang epistemologi Barat karena melibatkan wahyu, akal, dan indra sekaligus,”

Kedua, menghidupkan kembali tradisi Islam (revitalizing the Islamic tradition). Tradisi Islam klasik seperti tafsir, balaghah, atau sistem sanad menyimpan kerangka epistemik dan etika pengetahuan yang kaya. Tradisi ini mencakup tentang bagaimana teks diinterpretasi, bagaimana makna ditransformasikan ke dalam aksi, bagaimana sanad memvalidasi pengetahuan.

Tradisi ini, menurut Jabpar, merupakan counter terhadap studi modern yang cenderung memperlakukan al-Qur’an dan hadis hanya sebagai objek sejarah.

“Karena itu, program penelitian dan pengajaran perlu mengembangkan metodologi tafsir dan hadis klasik sebagai alat analisis kontemporer,” ujarnya.

Ketiga, membangun ekologi pengetahuan (creating ecologies of knowledge), yaitu sistem pengetahuan yang memungkinkan dialog sejajar antara metodologi Barat dan Islam.

“Epistemologi Islam harus dikembangkan sedemikian rupa sehingga sistem pengetahuannya dapat diterima secara setara dengan metodologi Barat seperti hermeneutika atau positivisme,” jelas Jabpar.

Keempat, membebaskan sarjana muslim (emancipating Muslim scholars). Maksudnya, memberi ruang bagi sarjana muslim untuk berbicara dari posisi epistemik Islam tanpa harus menyesuaikan diri dengan terminologi sekuler agar dianggap ilmiah. Emansipasi ini menuntut keberanian berpikir dan moral untuk menulis dengan kerangka iman serta menafsirkan dunia melalui horizon wahyu.

“Selama ini, mahasiswa kita cenderung malu untuk menggunakan metode-metode Islam. Sebaliknya, mereka merasa keren bila memakai metode Barat. Sikap seperti ini, menurut saya, tidak bisa lagi kita pertahankan,” tegas Jabpar. [MAF].