Jum’at (27/4), DEMA Fakultas Tarbiyah IIQ An Nur Yogyakarta bekerja sama dengan perpustakaan IIQ An Nur Yogyakarta mengadakan acara Bedah Buku. Buku yang dibedah kali ini berjudul “Biografi KH Nawawi Abdul Aziz Sejarah Hidup Sang Penjaga Al-Qur’an”.
Acara bedah buku ini merupakan serangkaian acara dalam rangka Peringatan Hari Kartini dan HUT DEMA Fakultas Tarbiyah ke-11. Narasumber yang dihadirkan kali ini adalah salah satu Tim Penulis buku yaitu Qowim Mushofa, M. Hum dan pembandingnya yaitu Arif Nuh Safri, M. Hum. sebagai seorang yang memberi kritikan terhadap karya fenomenal tersebut.
Bertempat di Ruang Auditorium IIQ An Nur Yogyakarta, tampak sekali wajah antusias dari puluhan hadirin. Puluhan hadirin tersebut adalah mahasiswa IIQ An Nur Yogyakarta, santriwati Pondok Pesantren An Nur Ngrukem, dan mahasiswa UCY.
Pemaparan diawali dari sang penulis buku, Qowim Mushofa, M. Hum. Beliau memaparkan secara singkat tentang bagaimana KH Nawawi mendirikan ponok pesantren dan sekolah formal dari Mts, MA, Madrasah Diniyah, Madrasah Salafiyah, hingga STIQ (Sekolah Tinggi Ilmu al-Qur’an) sekarang sudah menjadi IIQ An Nur Yogyakarta.
“Dari sana satu hal yang paling harus kita garis bawahi bahwa simbah ini bukan orang yang terpelajar yang sekolah formal, tidak. Simbah itu cuma lulus Sekolah Rakyat di Tulusrejo. Kemudian mondok yang pertama di Lirab, yang kedua di Banyuwangi, yang ketiga di Pondok Krapyak, yang ke empat di Kudus,” ujar Qowim.
Dari perjalanan tersebut, tampak bahwa KH Nawawi bukanlah orang yang mengenyam pendidikan formal. Akan tetapi bagaimana beliau menyikapi tantangan zaman yang semakin modern, sehingga kemudian beliau mendirikan sekolah formal bahkan sampai perguruan tinggi. Oleh karenanya, Pondok Pesantren An Nur Ngrukem adalah satu-satunya pondok pesantren di Bantul yang memiliki perguruan tinggi.
Ketika mendidik para santrinya, beliau tidak hanya mengajarkan sebatas memberi nasehat-nasehat saja. Tetapi beliau selalu memberi contoh bahwa hal itu sangat penting untuk dilakukan.
“Satu hal yang saya kira tidak bisa diingkari oleh semua orang atau bahkan para alumni, bahwa simbah itu istiqomahnya luar biasa. Dalam keadaan sakitpun beliau masih tetap ngaji, terima setoran, bahkan shalat jama’ah,” tambah Qowim.
Penulis buku bercerita bagaimana Kyai tersebut sangat istiqomah dalam beribadah dan belajar. Bahkan 1 tahun sebelum beliau wafat, dalam keadaan sakit beliau tetap melaksanakan shalat berjama’ah.
“Bahkan di satu tahun beliau sebelum wafat itu jama’ahnya luar biasa. Bahkan beliau itu imam masih pakai alat pembantu untuk membantu ketika beliau sujud mau i’tidal itu beliau sudah nggak bisa, sehingga mengambil tekenan itu untuk membantu simbah berdiri. bahkan seringkali santri di dawuhi beliau untuk membantu beliau ketika i’tidal atau ketika bangun dari sujud,” tambahnya.
Qowim menambahkan bahwa apapun yang diajarkan oleh KH Nawawi, keistiqomahan ini menjadi salah satu kunci penting yang tidak bisa diotak-atik. Baik istiqomah itu diterapkan ketika ngaji, shalat, maupun belajar. Beliau juga tidak hanya sebatas berbicara atau memberi nasehat saja. Tetapi beliau selalu memberi contoh.
Terkait tentang isi buku, penulis buku memaparkan bahwa dalam buku tersebut memuat sejarah kehidupan KH Nawawi dari lahir sampai wafat. Perlu diketahui bahwa lahir pada tanggal 17 Juli 1925 bukan pada tanggal 31 Desember. Selain itu, tim penulis juga menulis tentang peran KH Nawawi secara tematik. Baik dari segi pendidikan, pemikiran, maupun keorganisasian NU.
Kemudian Qowim menunjukkan tawadhu’nya sebagai seorang penulis sejati. Ini terlihat jelas dari salah satu memaparkan rumus untuk dapat terkenal.
“Kami merasa kalau kami menulis tentang simbah, yang hebat bukan yang nulis, yang hebat adalah simbah. Jadi, kami itu cuma numpang tenar aja karena nulis orang yang tenar,” ucap Qowim. (Fitri, Harokati)