Boikot: Antara Motif Kemanusiaan dan Etika Persaingan Bisnis

WhatsApp Image 2024 12 17 at 14.16.56 - Boikot: Antara Motif Kemanusiaan dan Etika Persaingan Bisnis

Yogyakarta—Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan Fatwa Nomor 83 Tahun 2023 tentang Hukum Dukungan terhadap Perjuangan Palestina. Fatwa ini merekomendasikan umat Islam untuk menghindari transaksi dan penggunaan produk yang terafiliasi dengan Israel. Fatwa ini juga menyatakan bahwa mendukung perjuangan kemerdekaan Palestina hukumnya wajib, sedangkan mendukung agresi Israel terhadap Palestina hukumnya haram. Namun, hingga berita ini diturunkan, MUI tidak pernah mengeluarkan secara resmi daftar produk yang terindikasi terafiliasi dengan Israel. Lalu, pertanyaannya, di mana letak akurasi dari fatwa tersebut?

Tidak ada pihak yang dapat membuktikan bahwa produk-produk yang masuk dalam daftar boikot—yang tersebar luas di media sosial pasca dikeluarkannya fatwa boikot MUI—benar-benar berafiliasi dengan Israel, atau lebih khusus lagi, benar-benar membiayai agresi militer Israel terhadap Palestina. Bahkan, tidak ada yang dapat mengonfirmasi siapa saja yang membuat dan menyebarkan flayer media sosial (medsos) tentang daftar produk yang “wajib diboikot” itu, dan apakah dapat dipertanggungjawabkan, baik daftarnya maupun lembaga yang mengeluarkan.

Selain flayer medsos, sempat viral pula aplikasi “No Thanks” yang berfungsi mendeteksi produk-produk pro-Israel. Tetapi, sekali lagi, apakah baik aplikasi maupun produk-produk yang dideteksi itu dapat dipertanggungjawabkan keabsahan dan kebenarannya? Tidak ada yang tahu. Kita hanya tahu bahwa pemerintah Indonesia, dalam pernyataan resminya pada, melalui Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan, tidak boikot produk Israel atau produk apa pun selama sesuai dengan ketentuan yang ada (kemendag.go.id, 27/11/2023).

Dari fenomena tersebut, perlu kita bertanya-tanya, dalam gerakan boikot produk-produk yang terindikasi pro-Israel, kita menjadi subjek atau justru objek? Kita sebagai subjek dalam arti kita menjadi bagian dari gerakan sosial masyarakat global yang mempergunakan strategi boikot dalam menentang agresi/genosida militer Israel terhadap Palestina. Sementara, kita justru hanya menjadi objek apabila gerakan boikot yang kita berada di dalamnya justru dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu demi semata-mata persaingan bisnis.

Demikian sekelumit gagasan yang disampaikan oleh Direktur Pusat Studi Siyasah dan Pemberdayaan Masyarakat (PS2PM) Yogyakarta, Dr. Yusdani Ali Rahman, M.A., dalam seminar nasional yang digelar oleh Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam (FEBI) Institut Ilmu Al Qur’an (IIQ) An Nur Yogyakarta pada Selasa (17/12) di gedung Auditorium IIQ An Nur.

“Jadi, dalam kasus boikot ini, kita sebagai muslim harus kritis. Jangan mudah terpengaruh oleh apa yang viral di media sosial. Kaji dulu secara mendalam berdasarkan data-data yang akurat. Baru setelah itu, kita boleh melakukan tindakan. Iman di era digital harus berdasarkan pada data yang akurat,” tegas Yusdani.

“Sebab, boikot bagai pisau bermata dua. Di satu sisi, ia bermotif kemanusiaan, namun di sisi lain merupakan ladang perang bisnis yang tidak sehat,” tambahnya.

Seminar bertajuk “Boikot: Antara Motif Kemanusiaan dan Etika Persaingan Bisnis” dan dimoderatori oleh Ketua Program Studi Perbankan Syariah, Edo Segara, S.E., M.E., itu juga mengundang Dekan FEBI IIQ An Nur Yogyakarta, Arif Kurniawan, S.H.I., M.E.I., sebagai pembicara. Arif berbicara tentang wacarana boikot dalam hubungannya dengan etika bisnis Islam.

Menurutnya, boikot—yang bermakna menghalangi, melarang, atau menghentikan aktivitas produksi—dilarang dalam Islam jika hanya dijadikan sebagai alat persaingan bisnis semata. Hal ini diisyaratkan oleh Allah Swt. dalam QS. al-Baqarah [2]: 173. Boikot diperbolehkan hanya jika demi tujuan menegakkan etika ilahiah di atas dunia, misalnya demi menegakkan keadilan, kejujuran, atau tanggung jawab sosial. Artinya, bermotif kemanusiaan.

“Namun, karena boikot produk-produk yang terindikasi berafiliasi dengan Israel telah berlangsung lama, gerakan boikot justru dipertanyakan karena menimbulkan ekses yang buruk, jatuh pada persaingan bisnis semata, dan ini tidak sehat,” tukas Arif.

Tujuan bisnis dalam Islam adalah untuk mendapatkan ridha dari Allah Swt., bukan semata-mata demi profit income. Oleh karenanya, Islam mengatur secara jelas etika bisnis, yang beberapa di antaranya adalah jujur/tidak curang, adil/tidak eksploitatif, dan memegang teguh tanggung jawab sosial dan lingkungan.

“Jika sebuah perusahaan telah melenceng dari rel etika bisnis yang ditetapkan dalam Islam maka produk-produknya boleh diboikot, tetapi dengan catatan sejauh perusahaan itu melenceng saja,” tambah Arif.

Gelaran seminar ini disambut oleh Rektor IIQ An Nur Yogyakarta, Dr. Ahmad Sihabul Millah, M.A. dan Sekretaris PS2PM Yogyakarta, Januariansyah Arfaizar, S.H.I., M.I. Turut hadir beberapa pihak, utamanya sivitas akademik FEBI IIQ An Nur Yogyakarta. (MAF).