Yogyakarta – Fakultas Ushuluddin Institut Ilmu Quran (IIQ) Annur menggelar seminar nasional bertajuk Menyikapi Isu Kekerasan Seksual Berdasarkan Al-Quran dan Hadis pada Kamis (9/12).
Menurut panitia penyelenggara Yudi seminar ini diadakan sebagai respons terhadap kasus kekerasan seksual pada perempuan yang mengalami peningkatan cukup signifikan dalam tiga tahun belakangan di Indonesia.
“Saya kira, respons dari kalangan akademik juga diperlukan untuk kasus ini,” katanya pada redaksi dalam diskusi yang diadakan di auditorium utama IIQ dengan protokol kesehatan yang ketat ini.
Acara yang dipandu oleh Istiqomah tersebut dihadiri langsung oleh Kepala Prodi Ilmu Hadis (Kaprodi Ilha) Fakultas Ushuluddin Arif Nuh Safri dan selebgram yang cukup dikenal di kalangan mahasiswi IIQ Annur Syarifah Rabiatul Adawiyah.
Arif, sapaan akrabnya, menyampaikan banyak hal dan analisis terkait peningkatan kekerasan seksual di Indonesia, aktornya, dan irisannya dengan teks agama.
Menurut Arif, dalam kasus Novia Widyasari (NWR) misalnya, semua orang di sekitar NWR layak disalahkan. Sebab mereka gagal menjadi pendengar yang baik untuk NWR, hingga ia memutuskan untuk mengakhiri hidupnya di makam sang ayah.
Arif menyampaikan dua (2) hal tentang pandangannya tersebut. Pertama, NWR memilih makam sebagai tempat mengakhiri hidup tentu bukan tanpa sebab.
“Itu adalah simbol. Simbol kuat!” tegas Arif.
Simbol yang dimaksud Arif adalah bagaimana NWR memilih makam karena rupanya yang paling bisa mendengar keluh kesahnya dengan tanpa menghakimi adalah makam, bukan ibunya, temannya, kampusnya, apalagi keluarga pasangannya.
Kedua, dengan mengutip satu hadis, Arif menyinggung soal dosa sosial.
Istilah ini merujuk pada keengganan seseorang untuk peduli pada orang di sekitarnya, termasuk untuk mendengar curahan hati temannya yang sedang dirundung masalah.
Bagi Arif, dilihat dari perspektif ini, siapa pun layak disalahkan ketika korban kekerasan seksual meningkat.
Sebab mereka enggan untuk menjadi pendengar yang baik. Alih-alih begitu, tegas Arif, mereka justru memilih untuk menghakimi.
“Itu terjadi secara tanpa sadar. Kenapa? Karena relasi kuasa kita di Indonesia timpang. Nuansanya masih patriarki. Akibatnya, bawah sadar kebanyakan kita selalu merendahkan perempuan entah sebagai pemuas nafsu belaka atau seonggok benda tak berperasaan,” jelasnya geram.
“Jadi, saya harap, ketika ada yang cerita ke kita, tolong jangan dihakimi. Dengarkan dengan baik dan beri saran ketika diminta,” imbuhnya.
Tidak berbeda dengan Arif, Rabiatul Adawiyah juga mengatakan bahwa dukungan kepada korban kekerasan seksual sangat dibutuhkan.
Menurut Yaya, sapaan akrabnya, bahkan ketika ada teman cerita bahwa dirinya ingin bunuh diri karena suatu masalah, maka siapa saja tidak boleh menganggapnya bercanda.
“Iya jangan. Kata dosenku, ketika ada teman kita bilang demikian, itu bukan candaan, itu benaran. Jadi, jangan malah kita candain,” kata perempuan yang sedang menempuh studi S1 di Universitas Mercu Buana ini.
Perlu diketahui, acara yang ditayangkan pula secara langsung via kanal Youtube iiq annur yogyakarta ini dihadiri oleh sekitar 200 peserta.(zv)
[learn_press_profile]