Guru Besar Teologi dari Amerika Serikat Berkunjung ke Fakultas Ushuluddin IIQ An Nur Yogyakarta

IMG20240620145928 - Guru Besar Teologi dari Amerika Serikat Berkunjung ke Fakultas Ushuluddin IIQ An Nur Yogyakarta

Yogyakarta—Guru besar teologi dari University of Notre Dame, Indiana, Amerika Serikat (AS), Prof. Mun’im A. Sirry, melakukan kunjungan ke Fakultas Ushuluddin Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) An Nur Yogyakarta pada Kamis (20/06). Publik mengenal Mun’im sebagai cendekiawan muslim kaliber internasional yang konsentrasi di bidang studi al-Qur’an, suatu bidang yang merupakan basis utama dari IIQ An Nur Yogyakarta.

Dalam program kunjungan ini, yang bertajuk visiting professor, Mun’im didapuk memberi kuliah dengan mengambil tema “The Quran & Hadith with Their Own Cross-References”. Rektor IIQ An Nur Yogyakarta, Dr. Ahmad Shihabul Millah, MA., berterima kasih kepada Mun’im yang telah menyempatkan diri hadir ke IIQ An Nur Yogyakarta.

“Saya berharap kita semua dapat mengambil inspirasi dari gagasan-gagasan Prof. Mun’im terkait studi al-Qur’an karena studi ini merupakan basis dari almamater kita,” ucapnya ketika memberikan sambutan.

Dosen Fakultas Ushuluddin IIQ An Nur Yogyakarta, Abdul Jabpar, M.Phil., sebagai moderator, memperkenalkan sosok Mun’im.

“Beliau berasal dari perkampungan yang sangat terpencil di Sumenep, Madura. Namun, siapa sangka, dengan tekad dan kemauannya yang besar, beliau kini menjadi guru besar teologi di University of Notre Dame, perguruan tinggi teologi paling terkemuka di dunia,” tukas Jabpar.

“Beliau ustadz saya dulu di Pondok Pesantren Al-Amin Sumenep. Luar biasa, alumni pesantren, tapi mengajar di kampus berbasis Katolik Roma,” tambahnya.

Dalam presentasinya, Mun’im mengatakan bahwa tema yang hendak ia paparkan berasal dari ide-idenya dalam salah satu karya monumentalnya, The Qur’an with Cross-References (De Gruyter, 2022).

Mun’in menjelaskan bahwa maksud dari referensi-silang (cross-references) dalam memahami al-Qur’an sebenarnya adalah tafsir al-Qur’an bi al-Qur’an, suatu metodologi tafsir yang dicetuskan oleh Ibnu Taimiyah dalam karyanya, Muqaddimah fi Ushul at-Tafsir. Namun, metodologi ini diabaikan oleh para mufasir sekian lama hingga hadirnya Adwa’ al-Bayan fi Idhah al-Qur’an bi al-Qur’an karya Muhammad ash-Shinqithi. Namun, jika dicermati, tafsir ini bukanlah tafsir al-Qur’an bi al-Quran seperti yang terpampang dari judulnya.

Tafsir al-Qur’an bi al-Qur’an justru dirintis oleh orientalis Jerman, Rudi Paret (1901–1983), dalam karyanya, Der Koran: Kommentar und Konkordanz. Bahkan pun, cross-references dalam buku ini masih remang karena Paret hanya menyediakan frasa dan penggunaan yang identik dan serupa di berbagai bagian dalam al-Qur’an. Sementara, cross-references yang dikembangkan oleh Mun’im didasarkan pada relasi antar-kata, antar-frase, antar-tema, antar-konsep, antar-peristiwa, dan antar-karakter di dua atau lebih ayat al-Qur’an yang memiliki kaitan makna.

“Yang kita butuhkan bukan memaksakan adanya persamaan, tetapi lebih kepada bagaimana menghargai perbedaan,” cetus Mun’im ketika menanggapi salah seorang penanya yang dulu sempat anti terhadap gagasan-gagasannya yang kontroversial.

Acara yang bertempat di Auditorium IIQ An Nur itu dihadiri oleh puluhan audiens, termasuk para dosen dan mahasiswa IIQ An Nur Yogyakarta, santri Pondok Pesantren An Nur Ngrukem, dan tidak sedikit pula orang luar. (MAF).