Yogyakarta—Hermeneutika lahir di Barat sebagai respon atas mapannya positivisme yang menyandarkan pengetahuan manusia pada rasionalisme Cartesian, saintisme Newtonian, dan emperisisme Inggris. Lalu, pada abad ke-18, muncullah sekelompok ilmuwan, di antaranya yang terkenal adalah Friedrich Schleiemacher dan Wilhelm Dilthey, yang menyadari kelemahan-kelemahan fundamental dari dasar-dasar positivisme. Mereka menantang positivisme lewat apa yang dikenal sebagai kesadaran hermeneutik (hermeneutical awareness).
Demikian sekelumit uraian Dr. H. Fahruddin Faiz, S.Ag., M.Ag. tatkala didapuk sebagai pembicara utama dalam seminar nasional bertajuk “Hermeneutika Al-Quran & Hadis: Seni Memahami Teks & Tradisi” di Auditorium Institut Ilmu Al Qur’an (IIQ) An Nur Yogyakarta pada Senin (14/10). Seminar yang diinisiasi oleh Fakultas Ushuluddin IIQ An Nur Yogyakarta dan dimoderatori oleh Dosen Prodi IAT (Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir), Fatimah Fatmawati, M.Ag., itu turut pula menghadirkan Dr. Abdul Jabpar, M.Phil. sebagai pembicara kedua.
“Kekuatan Fakultas Ushuluddin IIQ An Nur Yogyakarta ada pada aspek turats. Mahasiswa dituntut untuk bisa membaca dan mendalami isi kitab kuning. Namun demikian, Fakultas Ushuluddin tidak menutup diri dari keilmuan kontemporer yang berasal dari Barat dan berkembang pesat saat ini, seperti hermeneutika. Kita perlu mengetahui metode tafsir hermeneutik, agar kita tidak hanya mengenal metode tafsir klasik sebagaimana yang terdapat dalam Al-Itqan fi Ulum al-Qur’an,” tegas Dekan Fakultas Ushuluddin IIQ An Nur Yogyakarta, KH. Dr. Ihsanuddin, M.Si., dalam sambutannya.
Dalam prasarannya, Faiz mengatakan bahwa kesadaran hermeneutik memiliki lima aspek. Pertama, kesadaran pluralitas, yaitu kesadaran bahwa manusia pada dasarnya beragam, dan oleh karenanya pemahaman tiap-tiap individu terhadap suatu hal yang sama cenderung berbeda satu sama lain. Satu ayat al-Qur’an yang sama, misalnya, akan mendapatkan tafsir yang berbeda-beda oleh beberapa orang mufasir. Pluralitas manusia senantiasa mengindikasikan pluralitas pemaknaan.
Kedua, kesadaran progresivitas, yaitu kesadaran bahwa manusia terus berkembang dari waktu ke waktu. Pemahaman manusia pada zaman dahulu terkait suatu hal akan sangat berbeda dengan pemahaman manusia saat ini mengenai hal yang sama. Ini merupakan konsekuensi logis dari perkembangan zaman. Suatu ayat bisa saja ditafsirkan secara jauh berbeda oleh mufasir kontemporer daripada oleh mufasir klasik.
Ketiga, kesadaran historis, yaitu kesadaran bahwa pemahaman seseorang terhadap suatu teks tidak dapat dilepaskan dari latar belakang kesejarahan hidupnya. Setiap gagasan selalu punya historisitasnya sendiri yang khas. Untuk membaca teks, oleh karenanya, terlebih dahulu harus dilihat konteksnya. Kesalahan dalam indentifikasi konteks bisa saja mengakibatkan munculnya mispersepsi.
Keempat, kesadaran perspektif, yaitu kesadaran bahwa pemaknaan terhadap sesuatu tidak bisa dipisahkan dari cara pandang yang digunakan oleh si pemakna. To know bergantung pada to be. Itulah mengapa ayat al-Qur’an sebagai fakta mendapatkan pemaknaan yang beragam karena tiap-tiap mufasir mempergunakan perspektif yang beragam pula.
Kelima, kesadaran logosentris, yaitu kesadaran bahwa pemaknaan tiap-tiap manusia terhadap suatu hal cenderung bias “logo”. Secara tidak disadari, di dalam dirinya bekerja suatu ideologi atau pra-pemahaman tertentu sedemikian rupa sehingga ideologi dan pra-pemahaman ini besar kemungkinan memengaruhi hasil penafsirannya.
Kelima aspek kesadaran hermeneutika tersebut kemudian melahirkan bermacam-macam aliran hermeneutika dengan tokohnya masing-masing, seperti Friedrich Schleiemacher dengan hermeneutika metodologis, Wilhelm Dilthey dengan hermeneutika epistemologis, Martin Heidegger dengan hermeneutika faktisitas, Has-Georg Gadamer dengan hermeneutika ontologis, Paul Ricoeur dengan fenomenologi hermeneutik, dan lain semacamnya. Aliran-aliran hermeneutika ini, menurut Faiz, memiliki empat pola.
Pertama, pola konservatif, yaitu suatu pola yang mengarahkan proses penafsiran pada penggalian makna secara mendalam terhadap teks sesuai dengan makna yang dimaksudkan oleh si penulis. Pola ini bersifat objektif.
Kedua, pola dialogis, yaitu suatu pola penafsiran yang lebih bersifat subjektif daripada objektif, di mana penafsiran dilakukan untuk memperoleh makna versi pembaca, bukan makna versi penulis. Pembaca memperoleh makna lewat cara kontekstualisasi, yakni teks ditafsirkan berdasarkan pada konteks kesejarahan pembaca.
Ketiga, pola kritis. Pola ini tidak bersifat objektif maupun subjektif, melainkan omnijektif. Proses penafsiran dilakukan dengan cara melihat motif kepentingan yang berada baik di balik teks maupun di balik diri pembaca. Dengan menemukan motif ini, akan ditemukanlah pemaknaan baru terhadap hubungan antara teks dan maknanya yang telah diproduksi oleh pembaca.
Ketika, pola anarkis. Pola ini lebih berupa “pemanfaatan” teks daripada penafsiran terhadapnya. Teks diambil dan ditafsirkan secara serampangan dengan tujuan agar kepentingan pembaca yang berada di luar teks mendapatkan legitimasi tekstualnya. Misalnya, teks “Qul huwallaahu ahad (Katakanlah: “Dialah Allah yang Maha Esa.”) dipakai untuk memenangkan paslon nomor urut satu.
Sementara itu, Jabpar memaparkan eksistensi hermeneutika al-Qur’an dan hadits sebagai “seni memahami” nash. Ia mengetengahkan tiga model hermeneutika yang berkembang di lingkungan umat Islam dalam relasi mereka dengan nash.
Pertama, pola quasi-objektivis-konservatif. Pola ini memproyeksikan bahwa pemahaman terhadap kandungan al-Qur’an harus sesuai atau minimal mendekati pemahaman Nabi Muhammad Saw. terhadap wahyu Allah Swt. tersebut. Di antara golongan yang menganut pola hermeneutika quasi-objektivis-konservatif ini adalah kelompok Ikhwanul Muslimin dengan tokohnya seperti Hasan al-Banna dan Sayid Quthb. Menurut mereka, untuk memahami al-Qur’an, mutlak dibutuhkan asbabun nuzul, hadits, atsar para sahabat.
Kedua, pola subjektivis. Pola ini dianut oleh Muhammad Syahrur. Menurutnya, dalam penafsiran al-Qur’an, orang tidak harus bersandar kepada asbabun nuzul agar firman Allah Swt. bebas dari batasan-batasan yang dibuat oleh manusia dan makna yang dihasilkan menjadi lebih kaya. Setiap orang bebas menggunakan metode apa pun dalam menafsirkan al-Qur’an, seperti filsafat, semantik, semiotika, antropologi, sosiologi, sains, dan lain-lain. Tafsir tidak ditentukan oleh latar ideologis dan genealogis metode yang digunakan, melainkan oleh kontemporeralitas dan relevansi metode tersebut dengan karakter teks yang hendak ditafsirkan.
Ketiga, pola quasi-objektivis-progresif. Pola ini menyarankan bahwa pehamanan terhadap al-Qur’an memerlukan kombinasi antara metode tafsir klasik dan hermeneutika modern. Contoh paling familiar dari pola ini adalah hermeneutika gerakan-ganda (double movement) Fazlur Rahman. Menurut hermeneutika ini, proses pemahaman terhadap al-Qur’an melibatkan gerakan bolak-balik, yaitu dari problem situasi sekarang menuju problem masa al-Qur’an diturunkan, dan dari problem masa al-Qur’an diturunkan kembali menuju ke problem sekarang. Dengan metode ini, orang akan memahami makna universal al-Qur’an daripada makna literal-partikularnya. (MAF).