Yogyakarta—Tidak semua lulusan perguruan tinggi kemudian mendapatkan akses ke dunia profesional. Terlebih, ketersediaan ruang profesionalisme tidak lagi sebanding dengan “banjir sarjana” yang kian tahun kian membludak. Mereka dipaksa terjun ke arena persaingan dengan ekspektasi yang kecil.
Satu-satunya pilihan di tepi luar profesionslisme adalah swadaya. Para sarjana dituntut memiliki kemampuan (skill) individu yang dibutuhkan oleh masyarakat. Dengan kemampuan itu, dihadapkan mereka mampu mengakses sektor ekonomi formal maupun informal yang peluangnya kini semakin besar seiring dengan perkembangan dunia digital. Di antara kemampuan itu adalah wirausaha.
“Kami mempersiapkan masa depan mereka dari sekarang. Mereka tidak hanya kami bekali dengan turats, melainkan juga skill wirausaha,” cetus Nur Aini, S.S., M.A., dosen pengampu matakuliah kewirausahan Fakultas Ushuluddin Institut Ilmu Al Qur’an (IIQ) An Nur Yogyakarta.
Pernyataan ini disampaikan oleh Nur Aini di sela-sela ia tengah memonitor kios jualan para mahasiswanya dalam “Festival Kewirausahaan Ushuluddin 21”. Festival yang digelar pada Senin (25/11) di halaman IIQ An Nur Yogyakarta itu diikuti seluruh mahasiswa Fakultas Ushuluddin, baik prodi ilmu hadis (ILHA) maupun prodi ilmu al-Qur’an dan tafsir (IAT), angkatan tahun 2021, yang pada semester ini mengambil matakuliah kewirausahaan.
“Jumlahnya 45-an mahasiswa. Ada yang mandiri, ada pula yang berkelompok. Yang mandiri ada dua orang, sedangkan yang berkelompok dibagi menjadi tujuh kelompok. Khusus yang kelompok, mereka menjual aneka makanan dan minuman karena tema yang diangkat adalah food and beverage,” tukas Nur Aini.
Memang ada tujuh kios yang terlihat ikut dalam festival itu. Tiap-tiap kios menjual produk yang berbeda. Kelompok Kedai Cipol, misalnya, menjual sempol, cireng, dan minuman; kelompok PT. Pental Pentol menjual aneka pentol dan minuman; kelompok Kedai Kefrar menjual dimsum dan minuman; ada pula kelompok yang menjual tekwan palembang, susu ubi, mochi, sushi, liberika, pisang lilit, es lumut, dan lain-lain.
“Kalau yang mandiri ‘kan ada dua orang. Satu anak Palembang. Ia menjual kerupuk palembang. Sudah punya brand sendiri, dan sudah tersebar ke beberapa toko di Kabupaten Bantul. Sedangkan yang satunya membuka jasa desain grafis, yang dinamai ‘RS Studi Mandiri’,” kata Nur Aini.
Matakuliah kewirausahaan yang diampu Nur Aini dapat diambil pada semester enam dan tujuh. Menurutnya, untuk semester enam, matakuliah diarahkan pada pendalaman materi, sedangkan untuk semester tujuh, arahnya murni pada praktik.
“Mahasiswa dituntut berwirausaha setiap hari, yakni melakukan produksi, promosi, penjualan, dan membuat laporan perkembangan usaha mereka. Laporan itu saya pantau tiap minggu sekali, lalu dievaluasi. Adapun festival ini, yang digelar hanya sehari saja, menjadi ajang show off bagi tiap-tiap kelompok,” tandas Nur Aini. (MAF).