Putra “Imam Hadis Zaman Ini” Kupas Manhaj Ayahandanya di Seminar Internasional IIQ An Nur Yogyakarta

Desain tanpa judul - Putra "Imam Hadis Zaman Ini" Kupas Manhaj Ayahandanya di Seminar Internasional IIQ An Nur Yogyakarta

BANTUL, 18 Januari 2025— Sebuah seminar internasional bertajuk “Teori dan Metodologi Ilmu Hadis Syaikh Muhammad ‘Awwamah al-Husaini” sukses digelar di Auditorium Institut Ilmu Al Qur’an (IIQ) An Nur Yogyakarta pada Sabtu (18/01/2025). Acara ini merupakan hasil kolaborasi antara Fakultas Ushuluddin IIQ An Nur Yogyakarta, Yayasan Al Ma’had An Nur Ngrukem, Pondok Pesantren An Nur Ngrukem, dan Markaz Darul Hadis ‘Awwamah Turki.

Seminar ini menghadirkan pembicara tunggal, Syaikh Prof. Dr. Muhyiddin bin Muhammad ‘Awwamah al-Husaini, pendiri dan pengasuh Darul Hadis ‘Awwamah Turki sekaligus putra dari Syaikh Muhammad ‘Awwamah al-Husaini (selanjutnya disebut Imam ‘Awwamah), yang dikenal sebagai salah satu imam hadis kontemporer.

Seminar internasional tersebut dimulai pukul 08.00 WIB. Menariknya, seminar serupa kembali digelar pada pukul 13.00 WIB di lokasi yang sama, dengan pembicara yang sama, namun ditujukan untuk audiens yang berbeda. Seminar pertama dihadiri oleh dzurriyah Pondok Pesantren An Nur Ngrukem, para dosen dan pengelola IIQ An Nur Yogyakarta, serta tamu undangan. Sementara itu, seminar kedua, yang mengusung tema “Al-Muhadharah al-‘Ammah wa Ijazah Kutub as-Sittah” secara khusus ditujukan untuk kalangan mahasiswa.

Dalam sambutannya, pengasuh Pondok Pesantren An Nur Ngrukem sekaligus Ketua Yayasan Al Ma’had An Nur, KH. Muslim Nawawi, menyampaikan rasa syukur atas kedatangan Syaikh Muhyiddin ‘Awwamah.

“Mari kita manfaatkan kesempatan ini sebaik-baiknya. Kita serap ilmu dari Syaikh Muhyiddin sebanyak mungkin,” dawuh Kiai Muslim.

Sementara itu, Wakil Rektor I Bidang Akademik IIQ An Nur Yogyakarta, Dr. H. Munjahid, M.Ag., menekankan pentingnya seminar ini dalam membangkitkan tradisi ilmu hadis di Indonesia.
“Ahli Al-Qur’an di Indonesia memang banyak, tetapi ahli hadis sangat sedikit. Ilmu hadis dari dulu hingga kini memang kurang populer dan kurang tersebar di Indonesia. Kehadiran Syaikh Muhyiddin menjadi momentum penting untuk memperkuat tradisi hadis di kampus ini,” jelasnya.

MANHAJ ‘AWWAMAH
Syaikh Muhyiddin ‘Awwamah mengawali seminarnya dengan sebuah kelakar.

“Bagaimana mungkin ilmu hadis tidak populer di Indonesia, wong nama kiainya ‘Syaikh Muslim Nawawi’. ‘Muslim’ itu dapat merujuk pada Imam Muslim bin al-Hajjaj, muhaddis terkenal, penulis Shahih Muslim, sedangkan ‘Nawawi’ merujuk Imam Nawawi, penulis syarh dari kitab Shahih Muslim,” ujar sang syaikh yang disambut oleh tawa audiens.

Syaikh Muhyiddin ‘Awwamah kemudian menjelaskan bahwa manhaj dalam hadis adalah jalur (sanad) yang diambil oleh seorang muhaddis (ahli hadis) dari guru-gurunya hingga bersambung kepada Rasulullah Saw.

“Jika seseorang tidak memiliki sanad maka seharusnya ia tidak memiliki manhaj. Namun, ada ulama yang dianggap memiliki manhaj, padahal dia tidak punya sanad. Tentu, ulama ini bukan dari kalangan Ahlussunnah wal Jamaah. Sedangkan ayah saya, Imam ‘Awwamah, alih-alih pengikut, justru pembela Ahlussunnah wal Jamaah yang sangat vokal di Turki secara khusus dan Timur Tengah secara umum,” kata Syaikh Muhyiddin ‘Awwamah.

Menurutnya, Imam ‘Awwamah mengambil beragam sanad hadis dari guru-gurunya yang jumlahnya sangat banyak. Lalu, sanad-sanad ini diteliti ulang, diambil, dibuang, dan lain-lain, lalu diwujudkan menjadi satu manhaj tersendiri yang kini disebut sebagai manhaj ‘awwamah.

“Imam ‘Awwamah merupakan imam hadis zaman ini. Manhaj-nya, yang umum disebut manhaj ‘awwamah, sudah menjadi madrasah khusus dalam ilmu hadis kontemporer, dan sekarang diterapkan di banyak negara di dunia. Saya berharap saya dapat mengenalkan manhaj ‘awwamah ini di Indonesia,” lanjut syaikh.

Manhaj hadis Imam ‘Awwamah, menurut sang putra, sangat luas. Begitu luasnya manhaj ini, Syaikh Muhyiddin ‘Awwamah tidak akan menguraikannya secara detail karena waktunya tidak akan menututi. Ia menyarankan audiens untuk membaca salah satu kitab yang ditulisnya khusus membahas manhaj ‘awwamah.

Manhaj ini begitu luas dan komprehensif hingga disebut sebagai madrasah syamilah (madrasah yang sangat lengkap),” tambahnya.

METODE TAHQIQ
Termasuk dalam manhaj ‘awwamah ialah pembelaan Imam ‘Awwamah terhadap keshahihan hadis dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim. Dikatakan bahwa Imam ‘Awwamah tidak ridha jika ada orang mendha’ifkan hadits-hadits riwayah Imam Bukhari dan Imam Muslim, seperti yang dilakukan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani dan kalangan orientalis Barat.

Pembelaan Imam ‘Awwamah dituangkan di dua kitab yang ditulisnya, Manhaj Imam al-Bukhari fi Shahihihi dan Manhaj Imam Muslim fi Shahhihi. Di dalam kitab tersebut, kata Syaikh Muhyiddin ‘Awwamah, diteliti faktor-faktor eksternal yang dapat menguatkan keshahihan hadis-hadis di dua kitab tersebut dengan merujuk kepada karya-karya ulama mutaqaddimin yang memiliki otoritas.

Misalnya, kalau suatu hadis di Shahih al-Bukhari didhaifkan oleh Syaik al-Albani, tetapi dishahihkan oleh Ibnu Hajar al-Asqalani, Imam ‘Awwamah memilih pendapat Ibnu Hajar dengan merujuk pada kitab-kitabnya Ibnu Hajar. Apabila di kitabnya Ibnu Hajar merujuk pada kitab karya gurunya maka ia akan mencarinya di kitab itu. Dan, apabila kitab tersebut juga merujuk pada kitab sebelumnya, dicari pula ke kitab itu sedemikian sehingga Imam ‘Awwamah menemukan kitab paling terdahulu yang menshahihkan hadits tersbut.

“Jadi, dalam mentahqiq hadis, Imam ‘Awwamah menggunakan referensi ushul (batang), bukan referensi-referensi furu’ (cabang),” ujar sang syaik.

Dalam sesi tersebut, Syaikh Muhyiddin ‘Awwamah juga menggambarkan dedikasi luar biasa Imam ‘Awwamah dalam proses tahqiq (penelitian dan verifikasi) kitab-kitab hadis. Diceritakan, betapa detailnya Imam ‘Awwamah dalam mentahqiq kitab hadis. Misalnya, kitab Al-Mushannaf karya Ibnu Abi Syaibah ditahqiq oleh Imam ‘Awwamah selama 16 tahun, kitab Tadrib ar-Rawi fi Syarh Taqrib an-Nawawi karya Imam Ash-Shuyuthi ditahqiq selama 10 tahun, dan kitab Nasb ar-Rayah li Ahadits al-Hidayah karya Syaikh Jamaluddin Abu Muhammad Abdullah bin Yusuf az-Zaila’i al-Hanafi sudah ditahqiq selama 16 tahun hingga sekarang belum selesai.

Lamanya Imam ‘Awwamah dalam mentahqiq suatu kitab tidak lepas dari pandangannya tentang betapa pentingnya seorang muhaqqiq merujuk pada referensi-referensi ushul. Misalnya, dalam mentahqiq kitab Tadrib ar-Rawi fi Syarh Taqrib an-Nawawi, Imam ‘Awwamah merujuk pada karya Imam Nawawi, lalu karya Imam Khatib al-Baghdadi, lalu ulama-ulama sebelumnya sampai ke kitab ushul.

“Shingga, hasil tahqiq Imam ‘Awwamah sangat kokoh, sekalipun memang butuh waktu yang sangat lama,” kata Syaikh Muhyiddin ‘Awwamah.

METODE TAKHRIJ
Adapun dalam mentakhrij hadis, menurut Syaikh Muhyiddin ‘Awwamah, Imam ‘Awwamah tidak menggunakan takhrij yang bersifat general sebagaimana tahrij hadis, misalnya, dalam “Maktabah Syamilah”. Sebab, menurutnya, tiap-tiap kitab memiliki kekhasan tersendiri.

“Tidak bisa kitab hadis yang ditulis oleh ahli tasawuf ditakhrij oleh seorang ahli fiqih, atau kitab hadis ahli aqidah ditahrij oleh seorang ahli sirah. Tiap-tiap ulama punya hujjah tersendiri. Pasti ada alasan kuat, misalnya, kenapa hadis tentang ibadah dinukil di kitab tasawuf,” tukas Syaikh Muhyiddin ‘Awwamah.

Menurut Syaikh Muhyiddin ‘Awwamah, Imam ‘Awwamah menggunakan rasa yang mendalam (dzawq) dalam mentakhrij hadis-hadis yang tampak “anomali”. Ia melihat rahasia-rahasia yang tersembunyi di dalam hadis, misalnya, mengapa suatu hadis diletakkan di Bab Ihtihzan, bukan di Bab Ibadah? Mengapa suatu hadis yang telah diletakkan di suatu bab, dikutip lagi di bab lain di mana dua bab itu seolah tidak ada korelasi logisnya.

“Imam ‘Awwamah berusaha memahami maksud tersembunyi penulis hadis dalam meletakkan hadisnya di dalam sistematika yang mereka buat. Sebab, setiap penulis pasti memiliki maksud-maksud khusus dalam menempatkan suatu hadis di dalam kitabnya, sekalipun tidak mereka jelaskan secara mendetail,” ujar Syaikh Muhyiddin ‘Awwamah.

Hal yang paling dipegang teguh oleh Imam ‘Awwamah, baik dalam mentahqiq maupun mentakhrij hadis, ialah menaruh rasa takdzim terhadap ulama-ulama terdahulu. Menurut sang putra, Imam ‘Awwamah selalu mengutip ibarat: “Terompah ulama terdahulu ada di atas kepala kita semua.” Dengan prinsip ini, dalam mengkritik ulama terdahulu, ia senantiasa menjaga adab. Misalnya, jika ditemukan kekeliruan tulisan di referensi ushul, Imam ‘Awwamah tidak langsung menghukumi sang ulama salah, melainkan sekadar memberikan isyarah. Dan, kritik-kritik itu tidak ia manfaatkan untuk kebesaran dirinya.

“Saya mendapatkan banyak pelajaran adab dari ayah saya. Misalnya, ketika saya menulis kitab berjudul An-Nuqad al-Madaniyah yang berisi komentar-komentar saya atas hadis-hadis yang saya dapatkan dari guru-guru saya selama saya belajar di Madinah, ayah tidak ridha dengan judul itu karena arti nuqad adalah ‘kritik’. Lalu, beliau mengubah judul itu menjadi Khawasyi al-Madaniyah (arti khawasyi adalah tunduk),” ucap Syaikh Muhyiddin ‘Awwamah. (MAF).