
Yogyakarta—Rombongan civitas akademik Sekolah Tinggi Ilmu Al-Qur’an dan Sains Al-Ishlah (STIQSI) Lamongan tiba di Institut Ilmu Al Qur’an (IIQ) An Nur Yogyakarta pada Rabu (03/07). Kunjungan ini dimaksudkan untuk membangun kolaborasi antara kedua perguruan tinggi itu di bidang penelitian, seminar, dan pengabdian masyarakat.
Kolaborasi tersebut dikemas dalam bentuk forum diskusi dan Focus Group Discussion (FGD) bertajuk: “Tradisi Genealogis dalam Tafsir-tafsir Era Klasik-Pertengahan”. Dalam sambutannya, Ketua STIQSI, Dr. Piet HIsbullah Khaidir, M.A., menceritakan tentang sejarah dan sistem pendidikan yang diberlakukan.
“Seluruh mahasiswa STIQSI diwajibkan untuk mondok,” jelasnya ketika menerangkan tentang pentingnya pesantren menjadi penopang keilmuan mahasiswa di bidang al-Qur’an dan tafsir.
Sambutan berikutnya, KH. M. Ikhsanudin, M.Si., yang dalam hal ini menggantikan Rektor IIQ An Nur Yogyakarta yang berhalangan hadir karena pada saat bersamaan juga harus menghadiri acara di luar kota, menjelaskan orientasi dan kurikulum yang dikembangkan di Program Studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir (Prodi IAT) Fakultas Ushuluddin IIQ An Nur Yogyakarta.
“Untuk ilmu al-Qur’an, kami punya mata kuliah wajib yang harus ada di setiap semester, dari semester satu sampai semester delapan, yaitu mata kuliah tahfidz al-Qur’an dan qira’ah sab’ah. Kemudian, dalam sistem pengajaran, kami menggunakan kitab kuning sebagai rujukan primer karena Fakultas Ushuluddin IIQ An Nur memang diorientasikan pada penguatan turats,” jelas Ikhsan.
Acara seminar dan FGD digelar di ruang berbeda. FGD digelar di ruang rapat antara pihak Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) IIQ An Nur Yogyakarta dengan LPPM STIQSI Lamongan. Adapun seminar diadakan di auditorium, dengan dipandu oleh Muhammad Saifullah, M.A., salah seorang dosen IAT IIQ An Nur Yogyakarta.
Saiful membawakan makalah berjudul, “Tafsir sebagai Tradisi”. Ia mengetengahkan argumen bahwa tafsir bukan hanya bidang ilmu, tetapi juga tradisi besar yang mengagumkan. Ia memulai diskusinya dengan hasil penelitian dia terhadap manuskrip-manuskrip kitab tafsir di Jawa abad ke-19, yang hingga saat ini ditemukan ada 13 kitab tafsir.
“Sejatinya, tafsir itu bukan sekadar bidang ilmu, melainkan suatu tradisi. Tidak ada kitab tafsir yang ditulis oleh satu orang, melainkan ditulis bersama dengan mufasir-mufasir lain, dan mereka-mereka ini hidup dalam suatu lingkup tradisi besar,” ucap Saiful dalam salah satu penjelasannya.
Tampak animo peserta terhadap tema ini cukup tinggi karena mereka semua adalah mahasiswa IAT dari semester satu sampai delapan. Terbukti ketika termin pertanyaan dibuka, banyak dari mereka yang mengacungkan tangan. Namun, karena keterbatasan waktu, akhirnya diskusi ditutup pada pukul 16:00.
Acara kolaborasi antara dua perguruan tinggi yang sama-sama berbasiskan pada pesantren ini diharapkan tetap berlanjut untuk kepentingan-kepentingan lain di kemudian hari. Harapan ini sama-sama disampaikan oleh kedua belah pihak tatkala melepas kepulangan rombongan STIQSI Lamongan. (MAF).